Jumat, 05 Februari 2021

TIGA KIAI PENGGAGAS DZIKRUL GHOFILIN



           

   
Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah.


Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal manusia. Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo.

Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya, juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan. Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang masyhur dikalangan pengikut Gus Miek. Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dizikrul Ghofilin.



 Di Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca al-Fatihah 500 kali, baru kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin.

Buku “Dzikir Agung Para Wali Allah” yang ditulis oleh Muhammad Nurul Ibad ini, di dalamnya menguraikan sejarah Dzikrul Ghofilin dan pengikut ajaran Gus Miek. Adapun yang menjelaskan sejarah Dzikrul Ghofilin yakni Kiai Ahmad Shiddiq dan Kiai Maftuh Basthul Birri, pengikut dan hafizh al-Qur’an yang aktif mengikuti kegiatan Jantiko Mantab sejak periode pertama. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.

Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan dikumpulkan bersama mereka (hal.65).

Meneladani dan mengikuti jejak spiritual Gus Miek sangatlah penting, lebih-lebih menghidupkan kegiatan Dzikrul Ghofilin yang akhir-akhir ini mulai jarang masyarakat melakukannya. Saat ini umat Islam lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja, tidak memprioritaskan untuk kepentingan akhirat. Padahal tujuan awal didirikannya Dzikrul Ghofilin yang digagas oleh Gus Miek bukanlah untuk kepentingan dunia, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun meskipun sampai saat ini yang melakukan dan melaksanakan Dzikrul Ghofilin mulai jarang, setiap malam Ahad kliwon di pesantren Luhur Al-Husna Surabaya asuhan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa masih istiqamah melaksanakan, dan melanjutkan jejak spritual Gus Miek (Dzikrul Ghofilin), yang diikuti oleh masyarakat dan para santri. Wallahu a’lam

* Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

 TAGS: Tiga Kiai Penggagas Dzikrul Ghofilin

Sumber Berita : NU ONLINE

#nu.rantingburangkeng.setubekasi.#

(dr)



Selasa, 02 Februari 2021

HASIL USAHA SUAMI-ISTRI

HASIL USAHA SUAMI-ISTRI



Pertanyaan:

Bolehkah memberi gono-gini (ialah hasil usaha kedua belah pihak suami-istri) baik masing-masing mempunyai andil kapital ataupun tidak mempunyai, tetapi tidak dapat dibeda-bedakan hasil masing-masing (tercampur menjadi satu).

Jawaban:

Muktamar memutuskan: Bahwa memberi “gono-gini” itu boleh menurut yang diterangkan dalam Hamisy kitab Syarqawi:

Keterangan, dari kitab: (فَرْعٌ) إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِى لَمَّةٍ ... إِنْ كَانَ لِكُلٍّ مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتَسَبَا فَإِنْ تَمَيَّزَ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَإِلاَّ اصْطَلَحَا فَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَلِلْبَاقِيْنَ اْلأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغَبْنِ لِوُجُوْدِ الاشْتِرَاكِ Jika pernah terjadi persekutuan dalam sejumlah harta, … maka jika masing-masing punya harta atau salah satunya tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika perkembangan terjadi dari harta milik salah satu dari keduanya, maka semua harta menjadi miliknya dan pihak lain berhak mendapatkan upah, meskipun terjadi kerugian, karena adanya persekutuan.  Musthafa al-Dzahabi, Taqrir Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1226 H), Jilid II, h.109. Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 6

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

(dr)

ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID

 

zakat UNTUK PEMBANGUNAN MESJID



Pertanyaan :

Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian mesjid, madrasah-madrasah atau pondok-pondok (asrama-asrama), karena semua itu termasuk sabilillah sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?

Jawaban :

Tidak boleh, karena yang dimaksud dengan sabilillah ialah, mereka yang berperang di jalan Allah (sabilillah). Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah dhaif (lemah).

Keterangan, dalam kitab:

  1. Rahmah al-Ummah

وَاتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ اْلإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ أَوْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ. Para ulama sepakat atas larangan menggunakan hasil zakat untuk membangun mesjid atau mengkafani mayit.

  1. Al-Tafsir al-Munir (Marah Labid)

وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتَى وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ الْمَسْجِدِ  لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى فِى سَبِيْلِ اللهِ عَامٌ فِى الْكُلِّ Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fiqh bahwasannya mereka memperbolehkan penggunaan hasil sedekah/zakat bagi semua jalur kebaikan, seperti pengkafanan mayit, pembangunan benteng dan pembangunan mesjid, karena firman Allah “fi sabilillahi” bersifat umum mencakup keseluruhan.   Muhammad al-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t .th.), h. 92   Muhammad Nawawi al-Jawi, al-Tafsir al-Munir (Marah Labid), (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi, 1314 H), Jilid I, h. 344. Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 5

 

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

 (dr)

SHALAT SUNAT SEBELUM SHALAT JUM’AT

 

shalat SUNAT SEBELUM shalat JUMAT




Pertanyaan :

Apakah ada shalat sunnah qabliyah bagi shalat Jum’at?

Jawaban : Ada. Sebelum shalat Jum’at disunatkan shalat sunat qabliyah seperti shalat Zhuhur, karena sabda Rasulullah Saw. dalam hadits sahih. عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ. حَدِيثٌ صَحِيحٌ، رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ وَالدَّارُقُطْنِيُّ وَالطَّبْرَانِيُّ. “Dari Abdullah bin al-Zubair tberkata, Rasulullah r bersabda: “Setiap ada shalat fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya, Daraquthni dan Thabrani)

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Bari

وَأَقْوَى مَا يُتَمَسَّكُ بِهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ مَا صَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوْعًا: مَا مِنْ صَلاَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ. Dalil paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum Jum’at adalah hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “Tidak ada suatu shalat)fardhu) pun kecuali sebelumnya (sunnah) dilaksanakan ada shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى قَبْلَهَا أَرْبَعًا Nabi Saw. pernah melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Jum’at.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah

وَرَوَى أَبُوْ دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ عَنْ طَرِيْقِ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كاَنَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعُةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ (قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْخُلَاصَةِ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيُّ وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ الْمُلْقِنِ فِي رِسَالَتِهِ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لاَجَرْمَ وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Ayyub dari Nafi’: Ibn Umar memperpanjang shalat  sebelum pelaksanaan shalat Jum’at, dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya di rumah. Dan ia menceritakan bahwa Rasuullah Saw. juga melakukan yang demikian itu. (Tentang hadis ini) Imam Nawawi dalam al-Khulasah menilainya sebagai hadis shahih sesuai dengan syarat Bukhari. Al-Iraqi dalam Syarhal-Tirmidzi berkata: Isnadnya shahih. Al-Hafizh Ibn al-Mulqin dalam Risalahnya berkata: Isnadnya shahih dan tidak ada cacat. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya.   Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/2000), Cet. Ke-1, Jilid III, h. 96 Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 327. Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 326 Muhyiddin al-Nawawi, Khulashah al-Ahkam, (Beirut: Da al-Kutub al-Ilmiah, 1428 H/2000 M), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 383

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 4

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

 

MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN PENDAPAT KEDUA

MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN PENDAPAT KEDUA



PERSOALAN :

Bolehkah hakim memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) dalam masalah Syiqaq (perselisihan antara suami istri)?

Jawaban :
Boleh. Hakim diperbolehkan memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qaul al-tsani) apabila untuk kemaslahatan suami-istri dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mempergunakan al-qaul al-tsani tersebut.

Keterangan, dari kitab:

  1. 1. Al-Mahalli ‘ala al-Minhaj

وَيُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَعَلَى الثَّانِى لاَ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ. وَإِذَا رَأَى حُكَمُ الزَّوْجِ الطَّلاَقَ اِسْتَقَلَّ بِهِ وَلاَ يَزِيْدُ عَلَى طَلْقَةٍ. Kedua orang pengambil keputusan berhak memisahkan keduanya (suami-istri) jika mereka memandang perpisahan tersebut sebagai hal yang benar. Menurut (pendapat) yang kedua, dengan mengutus kedua orang pengambil keputusan tersebut berarti kerelaan suami istri tidak disyaratkan. Jika pengambil keputusan si suami memutuskan perceraian, maka ia bisa memutuskan sendiri (tanpa persetujuan suami), tapi tidak boleh lebih dari satu thalaq.

  1. Al-Fawaid al-Makiyyah

نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ أَيِ اْلإِفْتَاءُ وَالْقَضَاءُ بِمَرْجُوْحٍ لِحَاجَةٍ وَمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ. Ia memang berhak untuk memberikan fatwa dan keputusan dengan hukum yang tidak diunggulkan, karena hajat dan kepentingan umum.

  1. Al-Tanbih

وَهُمَا حُكْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ فِى الْقَوْلِ اْلآخَرِ فَيَجْعَلُ الْحَاكِمُ إِلَيْهِمَا اْلإِصْلاَحَ وَالتَّفْرِيْقَ مِنْ غَيْرِ رِضَا الزَّوْجَيْنِ وَهُوَ اْلأَصَحُّ. Keduanya pengambil ketetapan hukum dari pihak hakim menurut pendapat lain. Maka hakim menyerahkan keputusan berdamai atau bercerai kepada mereka berdua tanpa kerelaan suami dan istri. Dan pendapat ini adalah yang paling benar. [1]  Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, Syarah Mahalli ‘ala al-Minhaj pada Hasyiyah al-Qulyubi wa “Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1324/2003) Jilid III, h. 308. [2]  Al-Sayyid ‘Alawi al-Saqqaf, al-Fawaid al-Makiyyah, dalam Majmu;ah Sab’ah Ktub Mufidah, (Mesir: Musthafa al_halabi), h. 53. [3] Abu Ishaq ‘Alawi al-Syirazi, al-Tanbihdalam Syarah al-Tanbih al-Suyuthi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996, Cet. Ke-1, Jilid II, h. 639.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 3

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M

(dr)

PENDAPAT TOKOH (IMAM) YANG BOLEH DIFATWAKAN


PENDAPAT TOKOH (IMAM) YANG BOLEH DIFATWAKAN




PERTANYAAN: 
PENDAPAT SIAPAKAH YANG DAPAT/BOLEH DIPERGUNAKAN UNTUK BERFATWA DI ANTARA
PENDAPAT-PENDAPAT YANG BERBEDA DARI ULAMA SYAFIIYYAH?

JAWABAN:

Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.

c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d.Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wirai.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ianah al-Thalibin

إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهَبِ لِلْحُكْمِ وَالْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ اْلأَكْثَرُ فَاْلأَعْلَمُ فَاْلأَوْرَعُ ..... فَإِنْ قُلْتَ مَا الَّذِيْ يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَمَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَمِنْ الشُّرُوْحِ وَالْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَالرَّمْلِيَيْنِ وَشَيْخِ اْلإِسْلاَمِ وَالْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ وَالْمَحَلِّيِّ وَالزِّيَادِيِّ وَالشِّبْرَمُلِّيْسِيِّ وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَالْقُلْيُوْبِيِّ وَغَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعْتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَهَلْ يَجُوْزُ اْلأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنْ اَلْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، اَلْجَوَابُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُوْلِي اَلْمَكِّيِّ وَالْعُمْدَةُ عَلَيْهِ كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَمُعَوَّلٌ عَلَيْهَا لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ وَاْلأَخْذُ بِالْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَأَمَّا اْلإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عِنْدَ اْلإِخْتِلاَفِ التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيِّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا إِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِحِ . Sesungguhnya yang dijadikan landasan (pedoman) dalam mazhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh  (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wirai). Apabila anda bertanya: “Kitab-kitab apakah yang bisa dijadikan pedoman untuk berfatwa dari kitab-kitab, syarah, hawasy (catatan pinggir), seperti kitab karya Ibn Hajar, Imam Ramli dan Rafi’i, Syaikh al-Islam al-Khatib, Ibn Qasim, al-Mahalli, al-Ziyadi, Syibramullisi, Ibn Ziyad al-Yamani, al-Qulyubi dan yang lain? Apakah kitab-kitab mereka ini bisa dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak berpedoman pada individu masing-masing ulama yang telah disebutkan tersebut, apabila mereka berbeda pendapat?” Jawabnya adalah sebagaimana yang diperoleh dari jawaban al-’Allamah Sa’id Ibn Muhammad Sunbuli al-Makki, seluruh kitab-kitab tersebut di atas bisa dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi harus tetap memperhatikan untuk bisa mendahulukan sebagian dari yang lain. Sedangkan untuk pengamalan diri sendiri boleh secara keseluruhan. Dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan ia harus mendahulukan kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dibanding yang lain. Jika keduanya berbeda, ia boleh memilih antara keduanya; apabila ia memang tidak mampu mengunggulkan salah satunya, namun jika dia mampu, ia harus berfatwa dengan yang lebih unggul (rajih).

  Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t.th.) Jilid I, h. 19  

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 2
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1
Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

 

Hukum Bermazhab

 



HUKUM BERMAZHAB
PERTANYAAN: 
WAJIBKAH BAGI UMAT ISLAM MENGIKUTI SALAH SATU DARI EMPAT MAZHAB?

JAWABAN:

Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab yang tersohor dan aliran mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan).
Empat mazhab itu ialah:
a. Mazhab Hanafi Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.).
b. Mazhab Maliki Yaitu mazhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.)
c. Mazhab Syafi’i Yaitu mazhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.).
d. Mazhab Hanbali Yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).

Keterangandari kitab:

  1. al-Mizan al-Kubra 

كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ. Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.

  1. Al-Fatawa al-Kubra

وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ. Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.

  1. Sullam al-Wushul

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.
Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
Muhammad Bahith al-Muthi’i, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581. Hadits tersebut tercantum pada kitab ini di jilid III adalah sebagai dasar ijma’. Sedang yang tercantum di jilid IV merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Hadits di atas selengkapnya: إِنَّ أُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اْلإِخْتِلاَفَ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Jika kamu melihat suatu perbedaan, maka wajib bagimu mengikuti al-sawad al-a’zham” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Ibarah ini terdapat pula pada kitab ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/1988 M), Cet. Ke-1, Juz II, h. 535-540.  

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 1
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1
Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

(dr)

 

TIGA KIAI PENGGAGAS DZIKRUL GHOFILIN

                Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Ha...