Jumat, 05 Februari 2021

TIGA KIAI PENGGAGAS DZIKRUL GHOFILIN



           

   
Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya setiap hari dipenuhi oleh para peziarah.


Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal manusia. Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo.

Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya, juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan. Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang masyhur dikalangan pengikut Gus Miek. Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dizikrul Ghofilin.



 Di Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca al-Fatihah 500 kali, baru kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin.

Buku “Dzikir Agung Para Wali Allah” yang ditulis oleh Muhammad Nurul Ibad ini, di dalamnya menguraikan sejarah Dzikrul Ghofilin dan pengikut ajaran Gus Miek. Adapun yang menjelaskan sejarah Dzikrul Ghofilin yakni Kiai Ahmad Shiddiq dan Kiai Maftuh Basthul Birri, pengikut dan hafizh al-Qur’an yang aktif mengikuti kegiatan Jantiko Mantab sejak periode pertama. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.

Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan dikumpulkan bersama mereka (hal.65).

Meneladani dan mengikuti jejak spiritual Gus Miek sangatlah penting, lebih-lebih menghidupkan kegiatan Dzikrul Ghofilin yang akhir-akhir ini mulai jarang masyarakat melakukannya. Saat ini umat Islam lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja, tidak memprioritaskan untuk kepentingan akhirat. Padahal tujuan awal didirikannya Dzikrul Ghofilin yang digagas oleh Gus Miek bukanlah untuk kepentingan dunia, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun meskipun sampai saat ini yang melakukan dan melaksanakan Dzikrul Ghofilin mulai jarang, setiap malam Ahad kliwon di pesantren Luhur Al-Husna Surabaya asuhan Prof Dr KH Ali Maschan Moesa masih istiqamah melaksanakan, dan melanjutkan jejak spritual Gus Miek (Dzikrul Ghofilin), yang diikuti oleh masyarakat dan para santri. Wallahu a’lam

* Peresensi Adalah, Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

 TAGS: Tiga Kiai Penggagas Dzikrul Ghofilin

Sumber Berita : NU ONLINE

#nu.rantingburangkeng.setubekasi.#

(dr)



Selasa, 02 Februari 2021

HASIL USAHA SUAMI-ISTRI

HASIL USAHA SUAMI-ISTRI



Pertanyaan:

Bolehkah memberi gono-gini (ialah hasil usaha kedua belah pihak suami-istri) baik masing-masing mempunyai andil kapital ataupun tidak mempunyai, tetapi tidak dapat dibeda-bedakan hasil masing-masing (tercampur menjadi satu).

Jawaban:

Muktamar memutuskan: Bahwa memberi “gono-gini” itu boleh menurut yang diterangkan dalam Hamisy kitab Syarqawi:

Keterangan, dari kitab: (فَرْعٌ) إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِى لَمَّةٍ ... إِنْ كَانَ لِكُلٍّ مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتَسَبَا فَإِنْ تَمَيَّزَ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَإِلاَّ اصْطَلَحَا فَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَلِلْبَاقِيْنَ اْلأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغَبْنِ لِوُجُوْدِ الاشْتِرَاكِ Jika pernah terjadi persekutuan dalam sejumlah harta, … maka jika masing-masing punya harta atau salah satunya tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika perkembangan terjadi dari harta milik salah satu dari keduanya, maka semua harta menjadi miliknya dan pihak lain berhak mendapatkan upah, meskipun terjadi kerugian, karena adanya persekutuan.  Musthafa al-Dzahabi, Taqrir Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1226 H), Jilid II, h.109. Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 6

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

(dr)

ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID

 

zakat UNTUK PEMBANGUNAN MESJID



Pertanyaan :

Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian mesjid, madrasah-madrasah atau pondok-pondok (asrama-asrama), karena semua itu termasuk sabilillah sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?

Jawaban :

Tidak boleh, karena yang dimaksud dengan sabilillah ialah, mereka yang berperang di jalan Allah (sabilillah). Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah dhaif (lemah).

Keterangan, dalam kitab:

  1. Rahmah al-Ummah

وَاتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ اْلإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ أَوْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ. Para ulama sepakat atas larangan menggunakan hasil zakat untuk membangun mesjid atau mengkafani mayit.

  1. Al-Tafsir al-Munir (Marah Labid)

وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتَى وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ الْمَسْجِدِ  لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى فِى سَبِيْلِ اللهِ عَامٌ فِى الْكُلِّ Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fiqh bahwasannya mereka memperbolehkan penggunaan hasil sedekah/zakat bagi semua jalur kebaikan, seperti pengkafanan mayit, pembangunan benteng dan pembangunan mesjid, karena firman Allah “fi sabilillahi” bersifat umum mencakup keseluruhan.   Muhammad al-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t .th.), h. 92   Muhammad Nawawi al-Jawi, al-Tafsir al-Munir (Marah Labid), (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi, 1314 H), Jilid I, h. 344. Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 5

 

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

 (dr)

SHALAT SUNAT SEBELUM SHALAT JUM’AT

 

shalat SUNAT SEBELUM shalat JUMAT




Pertanyaan :

Apakah ada shalat sunnah qabliyah bagi shalat Jum’at?

Jawaban : Ada. Sebelum shalat Jum’at disunatkan shalat sunat qabliyah seperti shalat Zhuhur, karena sabda Rasulullah Saw. dalam hadits sahih. عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ. حَدِيثٌ صَحِيحٌ، رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ وَالدَّارُقُطْنِيُّ وَالطَّبْرَانِيُّ. “Dari Abdullah bin al-Zubair tberkata, Rasulullah r bersabda: “Setiap ada shalat fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya, Daraquthni dan Thabrani)

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Bari

وَأَقْوَى مَا يُتَمَسَّكُ بِهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ مَا صَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوْعًا: مَا مِنْ صَلاَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ. Dalil paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum Jum’at adalah hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “Tidak ada suatu shalat)fardhu) pun kecuali sebelumnya (sunnah) dilaksanakan ada shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى قَبْلَهَا أَرْبَعًا Nabi Saw. pernah melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Jum’at.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah

وَرَوَى أَبُوْ دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ عَنْ طَرِيْقِ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كاَنَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعُةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ (قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْخُلَاصَةِ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيُّ وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ الْمُلْقِنِ فِي رِسَالَتِهِ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لاَجَرْمَ وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Ayyub dari Nafi’: Ibn Umar memperpanjang shalat  sebelum pelaksanaan shalat Jum’at, dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya di rumah. Dan ia menceritakan bahwa Rasuullah Saw. juga melakukan yang demikian itu. (Tentang hadis ini) Imam Nawawi dalam al-Khulasah menilainya sebagai hadis shahih sesuai dengan syarat Bukhari. Al-Iraqi dalam Syarhal-Tirmidzi berkata: Isnadnya shahih. Al-Hafizh Ibn al-Mulqin dalam Risalahnya berkata: Isnadnya shahih dan tidak ada cacat. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya.   Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/2000), Cet. Ke-1, Jilid III, h. 96 Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 327. Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 326 Muhyiddin al-Nawawi, Khulashah al-Ahkam, (Beirut: Da al-Kutub al-Ilmiah, 1428 H/2000 M), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 383

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 4

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

 

MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN PENDAPAT KEDUA

MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN PENDAPAT KEDUA



PERSOALAN :

Bolehkah hakim memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) dalam masalah Syiqaq (perselisihan antara suami istri)?

Jawaban :
Boleh. Hakim diperbolehkan memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qaul al-tsani) apabila untuk kemaslahatan suami-istri dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mempergunakan al-qaul al-tsani tersebut.

Keterangan, dari kitab:

  1. 1. Al-Mahalli ‘ala al-Minhaj

وَيُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَعَلَى الثَّانِى لاَ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ. وَإِذَا رَأَى حُكَمُ الزَّوْجِ الطَّلاَقَ اِسْتَقَلَّ بِهِ وَلاَ يَزِيْدُ عَلَى طَلْقَةٍ. Kedua orang pengambil keputusan berhak memisahkan keduanya (suami-istri) jika mereka memandang perpisahan tersebut sebagai hal yang benar. Menurut (pendapat) yang kedua, dengan mengutus kedua orang pengambil keputusan tersebut berarti kerelaan suami istri tidak disyaratkan. Jika pengambil keputusan si suami memutuskan perceraian, maka ia bisa memutuskan sendiri (tanpa persetujuan suami), tapi tidak boleh lebih dari satu thalaq.

  1. Al-Fawaid al-Makiyyah

نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ أَيِ اْلإِفْتَاءُ وَالْقَضَاءُ بِمَرْجُوْحٍ لِحَاجَةٍ وَمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ. Ia memang berhak untuk memberikan fatwa dan keputusan dengan hukum yang tidak diunggulkan, karena hajat dan kepentingan umum.

  1. Al-Tanbih

وَهُمَا حُكْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ فِى الْقَوْلِ اْلآخَرِ فَيَجْعَلُ الْحَاكِمُ إِلَيْهِمَا اْلإِصْلاَحَ وَالتَّفْرِيْقَ مِنْ غَيْرِ رِضَا الزَّوْجَيْنِ وَهُوَ اْلأَصَحُّ. Keduanya pengambil ketetapan hukum dari pihak hakim menurut pendapat lain. Maka hakim menyerahkan keputusan berdamai atau bercerai kepada mereka berdua tanpa kerelaan suami dan istri. Dan pendapat ini adalah yang paling benar. [1]  Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, Syarah Mahalli ‘ala al-Minhaj pada Hasyiyah al-Qulyubi wa “Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1324/2003) Jilid III, h. 308. [2]  Al-Sayyid ‘Alawi al-Saqqaf, al-Fawaid al-Makiyyah, dalam Majmu;ah Sab’ah Ktub Mufidah, (Mesir: Musthafa al_halabi), h. 53. [3] Abu Ishaq ‘Alawi al-Syirazi, al-Tanbihdalam Syarah al-Tanbih al-Suyuthi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996, Cet. Ke-1, Jilid II, h. 639.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 3

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M

(dr)

PENDAPAT TOKOH (IMAM) YANG BOLEH DIFATWAKAN


PENDAPAT TOKOH (IMAM) YANG BOLEH DIFATWAKAN




PERTANYAAN: 
PENDAPAT SIAPAKAH YANG DAPAT/BOLEH DIPERGUNAKAN UNTUK BERFATWA DI ANTARA
PENDAPAT-PENDAPAT YANG BERBEDA DARI ULAMA SYAFIIYYAH?

JAWABAN:

Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.

c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d.Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wirai.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ianah al-Thalibin

إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهَبِ لِلْحُكْمِ وَالْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ اْلأَكْثَرُ فَاْلأَعْلَمُ فَاْلأَوْرَعُ ..... فَإِنْ قُلْتَ مَا الَّذِيْ يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَمَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَمِنْ الشُّرُوْحِ وَالْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَالرَّمْلِيَيْنِ وَشَيْخِ اْلإِسْلاَمِ وَالْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ وَالْمَحَلِّيِّ وَالزِّيَادِيِّ وَالشِّبْرَمُلِّيْسِيِّ وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَالْقُلْيُوْبِيِّ وَغَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعْتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَهَلْ يَجُوْزُ اْلأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنْ اَلْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، اَلْجَوَابُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُوْلِي اَلْمَكِّيِّ وَالْعُمْدَةُ عَلَيْهِ كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَمُعَوَّلٌ عَلَيْهَا لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ وَاْلأَخْذُ بِالْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَأَمَّا اْلإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عِنْدَ اْلإِخْتِلاَفِ التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيِّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا إِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِحِ . Sesungguhnya yang dijadikan landasan (pedoman) dalam mazhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh  (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wirai). Apabila anda bertanya: “Kitab-kitab apakah yang bisa dijadikan pedoman untuk berfatwa dari kitab-kitab, syarah, hawasy (catatan pinggir), seperti kitab karya Ibn Hajar, Imam Ramli dan Rafi’i, Syaikh al-Islam al-Khatib, Ibn Qasim, al-Mahalli, al-Ziyadi, Syibramullisi, Ibn Ziyad al-Yamani, al-Qulyubi dan yang lain? Apakah kitab-kitab mereka ini bisa dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak berpedoman pada individu masing-masing ulama yang telah disebutkan tersebut, apabila mereka berbeda pendapat?” Jawabnya adalah sebagaimana yang diperoleh dari jawaban al-’Allamah Sa’id Ibn Muhammad Sunbuli al-Makki, seluruh kitab-kitab tersebut di atas bisa dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi harus tetap memperhatikan untuk bisa mendahulukan sebagian dari yang lain. Sedangkan untuk pengamalan diri sendiri boleh secara keseluruhan. Dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan ia harus mendahulukan kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dibanding yang lain. Jika keduanya berbeda, ia boleh memilih antara keduanya; apabila ia memang tidak mampu mengunggulkan salah satunya, namun jika dia mampu, ia harus berfatwa dengan yang lebih unggul (rajih).

  Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t.th.) Jilid I, h. 19  

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 2
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1
Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

 

Hukum Bermazhab

 



HUKUM BERMAZHAB
PERTANYAAN: 
WAJIBKAH BAGI UMAT ISLAM MENGIKUTI SALAH SATU DARI EMPAT MAZHAB?

JAWABAN:

Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab yang tersohor dan aliran mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan).
Empat mazhab itu ialah:
a. Mazhab Hanafi Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.).
b. Mazhab Maliki Yaitu mazhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.)
c. Mazhab Syafi’i Yaitu mazhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.).
d. Mazhab Hanbali Yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).

Keterangandari kitab:

  1. al-Mizan al-Kubra 

كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ. Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.

  1. Al-Fatawa al-Kubra

وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ. Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.

  1. Sullam al-Wushul

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.
Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
Muhammad Bahith al-Muthi’i, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581. Hadits tersebut tercantum pada kitab ini di jilid III adalah sebagai dasar ijma’. Sedang yang tercantum di jilid IV merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Hadits di atas selengkapnya: إِنَّ أُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اْلإِخْتِلاَفَ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Jika kamu melihat suatu perbedaan, maka wajib bagimu mengikuti al-sawad al-a’zham” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Ibarah ini terdapat pula pada kitab ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/1988 M), Cet. Ke-1, Juz II, h. 535-540.  

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 1
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1
Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

(dr)

 

PERJALANAN MUKTAMAR NU DARI MASA KE MASA

 Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia. Kehadiran NU mempunyai makna penting dan turut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, NU ikut memberi saham terbesar bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari dua aspek perjuangan NU, kultural dan struktural.

Dari aspek kultural, dapat dilihat dari latar belakang perjuangan ulama-ulama yang gigih menentang kehadiran Belanda di dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Penguasaan Pemerintah Belanda atas bumi pertiwi menjadi alasan utama penentangan tersebut. Di pulau Jawa, catatan panjang sejarah akan menyebutkan pola-pola pergerakan ulama yang terlibat di dalam berbagai perebutan wilayah yang hendak dianeksasi Belanda, seperti pemberontakan petani Banten, perang Kedondong Cirebon, pun perang besar Pangeran Dipanegara yang berhasil membuat VOC bangkrut.

Genealogi sejarah perlawanan ulama terhadap Pemerintah Belanda yang menududuki tanah air jelas terjadi secara turun temurun dengan cikal yang tumbuh dari masa sebelumnya. Terutama, relasi ulama dan pemerintah.

Genealogi tersebut termaktub di dalam pandangan dan garis (khittah) perjuangan NU yang Muqoddimah-nya ditulis langsung oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Muqoddimah tersebut menjadi pokok perjuangan NU di dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran para ulama pewaris Nabi Muhammad Saw secara turun temurun di Nusantara. Ajaran atau pokok pikiran Nahdlatul Ulama (NU) tersebut menyebutkan sebagai organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Secara metodik dan sistemik yang diajarkan, NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Di bidang aqidah, NU berpegang pada metode dan sistem pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, serta mengikuti metode dan sistem pemahaman yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali di bidang tasawuf.

Dengan demikian, metode dan sistematika ajaran atau pokok pikiran NU telah ditegaskan oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari secara tertulis di dalam Muqoddimah Qonun Asasi NU. Hal tersebut dilandasi dari realitas sosial masyarakat Nusantara yang telah mengamalkan ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebagaimana masa-masa kerajaan pra kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah terlebih dahulu menerapkannya di dalam tata keprajan (pemerintahan) yang berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kehadiran NU tidak secara tiba-tiba sebagaimana tanggal kelahiran seorang bayi, namun memiliki jiwa dan raga jauh sebelum ditetapkannya tanggal kelahiran tersebut. Proses panjang ulama-ulama yang hidup di masa jauh sebelum NU hadir dan terorganisir merupakan jiwa dan raga NU sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat dari qonun-qonun yang sudah diterapkan oleh raja-raja Nusantara yang terimplementasikan ke dalam tradisi dan kehidupan nyata, sebagaimana di Sumatera dikenal dengan slogan “adat basandi syara, syara basandi kitabullah”, begitu pula di pulau Jawa dikenal dengan kehadiran Walisanga, dan seterusnya.

Untuk merumuskan arah dan perjuangan, NU memerlukan sebuah forum tertinggi di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah strategis. Muktamar NU adalah forum tertinggi di dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang dari waktu ke waktu menghadapi persoalan sendiri-sendiri. Di dalam Muktamar NU membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan pertanggungjawaban PBNU yang disampaikan secara tertulis
b. Membahas AD/ART
c. Garis-garis Besar Program Kerja NU untuk 5 (lima) tahun ke depan
d. Membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan
e. Rekomendasi organisasi
f. Memilih rais aam dan ketua umum tanfidziyah

Sebelum negara dalam keadaan aman seperti saat ini, Muktamar NU dilaksanakan setiap tahun guna merespon persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa yang urgen. Namun belakangan, guna menghadapi persoalan urgen tersebut masih diadakan forum-forum di bawah muktamar seperti Musyawarah Nasional (Munas) NU dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Sementara muktamar dilaksanakan lima tahun sekali guna menjaga stabilitas dan kemapanan organisasi.

Masa Konsolidasi

Sebelum diputuskan menjadi agenda acara lima tahunan, NU menyelenggarakan muktamar setahun sekali di berbagai pesantren dan daerah. NU I di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926. Masa-masa awal pendirian organisasi NU ditandai dengan konsolidasi antar daerah yang bergerak dari Surabaya hingga ke Banten. Muktamar pertama hingga ketiga berlangsung di Surabaya (1926, 1927, 1928). Keempat, di Semarang pada 1929. Kelima, di Pekalongan pada 1930. Keenam, di Cirebon pada 1931. Ketujuh, di Bandung pada 1932. Kedelapan, di Jakarta 1933. Setelah itu kembali lagi ke timur. Pada masa-masa awal pembentukan organisasi tersebut, sidang-sidang mukatmar masih menjadi satu antara Dewan Syuriah dan Dewan Tanfidziyah.

Masa konsolidasi ini juga ditandai dengan agenda perang kebudayaan terhadap Belanda yang dianggap kafir. Keputusan NU tahun 1927 merupakan bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang kemudian digelorakan oleh para kiai NU ke dalam bentuk pemboikotan dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Secara ekstrem juga berwujud pada perang melawan penjajah. Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan melawan Belanda. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Di samping perang kebudayaan, para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi dengan memasukkan isu ekonomi dan politik. Pada isu ekonomi para kiai melakukan upaya delegitimasi mata uang penjajah.

Masa Perkembangan

Perkembangan NU demikian cepat. Ruslan Abdul Gani mencatat, NU tumbuh cepat dan nyaris merata. Sehingga terasakan dalam kelahiran NU terdapat jiwa self helping. Ruslan menambahkan, deklarasi NU itu wujudnya adalah gerakan sistematis muslim desa yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional.

Tepat pada tanggal 21-26 April 1934 M, Muktamar NU kesembilan dilaksanakan di Banyuwangi. Muktamar kesembilan tersebut memilki torehan penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama. Menurut Choirul Anam dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, menyebut Muktamar tersebut sebagai tonggak perkembangan NU. Ada beberapa poin penting yang menjadi pertimbangannya. Dalam forum permusyawaratan tertinggi di kalangan NU tersebut, berhasil dirumuskan mekanisme kerja baru. Persidangan antara Syuriah dan Tanfiziyah tak lagi dalam satu forum. Syuriah sidang dengan pembahasan tersendiri. Begitu pula dengan Tanfidziyah memiliki bahasan tersendiri. Sebagaimana pembagian yang dikenal hingga sekarang.

Masa Kebangkitan Pemuda

Peranan tokoh-tokoh muda NU banyak mengambil peran dalam muktamar kesembilan tersebut. Nama-nama seperti Wahid Hasyim, Machfud Siddiq, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid tampil di berbagai forum persidangan. Salah satu hasil dari keterlibatan generasai muda tersebut adalah lahirnya Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO). Cikal bakal GP Ansor sekarang.

Muktamar NU yang kesepuluh diselenggarakan di Surakarta pada 13-19 April 1935/10-15 Muharram 1354. Jumlah anggota NU yang terdaftar pada muktamar tersebut adalah 68.000 orang dari 68 cabang se-Indonesia. Dengan kata lain, NU sudah benar-benar berkembang hampir di setiap pelosok negeri.

Masa Kebangkitan Nasionalisme

Momentum penting NU sebagai organisasi agama dan sosial di dalam sejarah pembentukan NKRI adalah pada muktamar kesebelas di Banjarmasin, ketika memutuskan nama Indonesia sebagai “Darul Islam”. Perjuangan pemuda-pemudi Indonesia yang tertuang di dalam kesepakatan bersama pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meminta jawaban pasti dari umat Islam yang bersumber dari legitimasi para ulama.

Masa Mabadi Khaira Ummah

Sekitar tahun 1935, KH Machfudz Siddiq telah merintis berdirinya majalah NU, yaitu Soeara Nahdlatoel Oelama. Kepiawaiannya dalam merangkai kata, baik dengan menggunakan bahasa Arab maupun Melayu telah menarik perhatian Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Pada Muktamar NU ke-12 di Malang 1937, ia dipilih menjadi Ketua Hoftbestuur Nahdlatoel Oelama (Ketua Umum PBNU), namun ditolaknya. Hingga Hadratussyekh sendiri yang memintanya untuk menjadi ketua. Saat menjadi Ketua Umum PBNU, pikiran KH Machfudz Siddiq semakin tumbuh subur. Selain melakukan penataan organisasi, ia pun merumuskan  metode dakwah yang efektif, penerbitan majalah dan koran, juga merumuskan prinsip pengembangan masyarakat yang dikenal dengan mabadi khaira ummah.

Masa Kebangkitan Perempuan

Muktamar NU ketiga belas diselenggarakan di Menes, Banten, pada 1938. Kendali Muktamar tersebut diserahkan kepada Trio pimpinan NU; KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah saat itu), dan KH Wahid Hasyim yang didampingi kiai sepuh Kiai Asnawi Kudus. Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari tidak turut hadir dengan alasan kesehatan. Namun demikiam, Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, pada 1938 tersebut justeru memiliki arti yang sangat besar bagi kaum perempuan NU. Ketika gagasan mendirikan organisasi perempuan NU itu muncul. Pada forum muktamar tersebut dua tokoh perempuan, Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah. tampil ke muka sebagai pembicara mewakili jamaah perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Secara internal, NU belum bersedia menerima jamaah perempuan berpartisipasi di dalam penentuan kebijakan. Ide tersebut menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Meskipun peranan perempuan tersebut baru diterima dan diputuskan pada Muktamar NU kelima belas di Surabaya pada 1940, lengkap beserta AD/ARTnya.

Muktamar NU keempat belas diselenggarakan di Magelang. Pembahasan organisasi perempuan NU kembali menghangat pada muktamar ini, di samping masalah simpan pinjam uang koperasi. Kaum perempuan NU diberi kesempatan menyelenggarakan rapat umum perdana. Pada kesempatan tersebut dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan, dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Mereka menyampaikan pidato yang berisi tentang pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan yang memegang peran penting turut mencerdaskan bangsa.

Pada Muktamar NU kelima belas yang diselenggarakan di Surabaya, kaum perempuan NU tersebut melakukan rapat tertutup guna membahas pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, serta bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940.

Masa Momentum Revolusi

Muktamar NU mengalami masa vakum cukup lama, karena ketegangan revolusi memperebutkan kemerdekaan disusul oleh kedatangan Jepang tahun 1942. Muktamar NU keenam belas diadakan pada 23-26 Rabiul Akhir 1365 H/ 26-29 Maret 1946 di Purwokerto. Momentum Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 kian meneguhkan tekad untuk merdeka. Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat juang dalam menghadapi agresi I dan II Belanda. Di dalam pidatonya, Hadratussyekh menegaskan kembali tentang Fatwa Jihad yang disebut juga dengan Resolusi Jihad Kedua; “Demikianlah sesungguhnya pendirian umat telah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”

Momentum ini dihadiri oleh tamu-tamu di luar pengurus NU, melainkan juga turut hadir dari anggota Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang hadir. Bahkan, mereka mengenakan pakaian seragam kebesaran berikut senjata lengkap.

Dalam resepsi muktamar tersebut, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi pidato sambutan memuji NU yang telah memberi arah jalan revolusi melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.

“Khutbah Wada” Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari

Muktamar NU ketujuh belas adalah yang terakhir dihadiri oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Ia menyampaikan khutbah terakhir tersebut di Madiun pada malam Ahad, 5 Rajab atau 24 Mei 1947 (Rajab 1366 Hijri). Dua bulan kemudian, tepatnya pada 25 Juli atau 7 Ramadhan, Hadratussyekh meninggal dunia. Menurut Ahmad Ginanjar Sya’ban, ia menemukan teks khutbah tersebut dalam versi salinan KH. Ahmad Abdul Hamid Kendal yang terhimpun dalam kitab karangan beliau, Ihyâ ‘Amal al-Fudhala fi Tarjamah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama (diterbitkan tahun 1952 oleh Menara Kudus).

Khutbah Hadrastussyekh tersebut berisi tentang masa-masa genting perjuangan republik yang baru lahir dan tengah mempertahankan kemerdekaannya sekaligus menghadapi agresi militer Belanda; “Perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara ini harus terus ditegakkan sampai titik darah penghabisan. Semua kalangan bangsa Indonesia, terutama umat muslim negara itu, harus bersatu padu dan mengesampingkan perselisihan di antara mereka.”

Masa Keluar dari Partai Masyumi

Dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949, Mohammad Saleh, walikota Yogyakarta yang juga tokoh Masjumi (dari Muhammadiyah) menyindir para kiai-kiai NU. Sindiran tersebut membuat 30 orang kiai meninggalkan ruangan kongres. Menurut Greg Fealy, perubahan peran ulama dan Majelis Syuro merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dan kelompok Natsir. Sebab, Majelis Syuro berfungsi hanya sebatas sebagai dewan konsultatif yang tidak memiliki peran kebijakan. Hubungan retak tersebut tidak pernah pulih hingga sekarang.

Dalam Muktamar NU ke-18 di Jakarta, Mei 1950, KHA Wahab Chasbullah mendesak penarikan diri dari Partai Masyumi. Dalam pidatonya, Kiai Wahab mengatakan, “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.”

Kemudian, PBNU menggelar rapat di Jagalan, Jombang, pada 5-6 April 1952 guna membahas masalah hubungan dengan Partai Masyumi. Sebagian utusan setuju NU menarik diri dari Partai Masyumi. Ketika ada yang mengusulkan menyerahkan keputusan pada Muktamar, Kiai Wahab menentang dan mendesak PBNU ambil keputusan. Akhirnya, rapat tersebut memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952. Keputusan tersebut kemudian dibawa ke Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952.

Masa Menjadi Partai Politik

Muktamar kesembilan belas NU diselenggarakan di Palembang 26-30 April 1952. Kala itu KHA Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan KH Nahrawi Thohir.

Momentum keluar dari Partai Masyumi sangat menentukan bagi masa depan NU. Dua arus utama politik pada masa itu yang muncul di setiap permukaan polemik (sebagaimana polemik kebudayaan) tak luput pula melanda kaum muslimin. “Arus Luar” yang mengusung ide modernisme terwakili dari kalangan Masyumi moderat dan PKI, serta “Arus Tradisional” yang mengusung ide “nasionalisme” yang terwakili oleh PNI dan NU. Dua arus tersebut kemudian yang melatari panggung politik di Indonesia hingga sekarang. Dan, sejak menjadi partai tersebut, NU banyak menempati tokoh-tokohnya di pemerintahan. Hal yang tidak pernah didapat ketika masih bergabung di dalam Partai Masyumi. Bahkan, pada prosesi Pemilu pertama tahun 1955, NU menempati posisi nomor tiga setelah PNI dan Masyumi. Kejutan yang sangat berarti. Mengingat gerak cepat Partai NU dalam waktu singkat mampu menyaingi partai induk sebesar Partai Masyumi.

Keputusan penting lainnya pada Muktamar kesembilan belas di Palembang tersebut adalah menetapkan NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) sebagai Badan Otonom NU.

Masa Kelahiran Sayap-sayap NU

Dampak dari NU menjadi partai tersebut adalah terbukanya kran-kran konflik di akar rumput. Masuknya ideologi-ideologi dari luar seperti modernisme, kolonialisme, imperialisme, komunisme, bahkan intelektualisme telah mengancam eksistensi dan struktur masyarakat bangsa Indonesia. Berbagai aliran ideologi tersebut membentuk ke dalam partai-partai politik. Tercatat, terdapat 172 partai politik yang menjadi kontestan pada Pemilu 1955 tersebut. Dan, dapat dibayangkan: terdapat pula 172 ideologi politik yang bermain, meskipun yang tampak dominan kemudian di panggung sejarah adalah PNI, Partai Masyumi, PKI, dan tentunya Partai NU.

Menghadapi perubahan pada akar rumput tersebut, NU melahirkan badan-badan otonom seperti Nahdlatoel Oelama Moeslimat (1946, 1952), Fatayat NU (1950), IPNU (1954), IPPNU (1955), serta Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia, Lesbumi (1956). Di samping, pengalaman berorganisasi selama mengikuti Partai Masyumi.

Perkembangan badan-badan otonom di lingkungan NU tidak muncul dari tubuh struktural kepengurusan. Kebanyakan dari sekumpulan warga NU yang intens melakukan bidang garapan tertentu secara terorganisir. Mereka menjalani proses diri yang cukup lama dari masa kelahirannya. Sebagaimana pendirian Ikatan Pelajar Nahdltul Ulama (IPNU). Proses pendirian IPNU diawali pada tahun 1939 ketika lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama); Disusul kemudian pada tahun 1947, lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang; Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama) di Semarang; PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri; dan, di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama. Masing-masing bergerak sendiri-sendiri secara sporadis. Baru kemudian, Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut ke dalam satu wadah yang diberi nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.

Begitu pula proses kelahiran Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang diawali dari gagasan kelompok. Sekitar akhir tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud di bilangan Keprabon, Surakarta, beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, mencoba merespon keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya tentang perlunya organisasi pelajar di kalangan nahdliyyat. Diskusi-diskusi ringan tersebut dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri. Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 4 Maret 1955, dikeluarkan surat persetujuan resolusi berdirinya IPNU-Putri dari PB Ma’arif NU yang kemudian disahkan menjadi IPPNU.

Masa Pemantapan Organisasi

Keterlibatan NU di kancah politik praktis yang merupa pada Partai NU memang telah menempatkan posisi-posisi strategis bagi kader-kadernya, terutama setelah PKI dan Partai Masyumi dibubarkan. Sejalan sejarah bangsa menuju demokratisasi, NU pun turut mewarnai proses itu. Sejak Muktamar NU kesembilan belas di Palembang tahun 1952, proses pemilihan pimpinan NU (Rais dan Ketua Umum) nenurut KH Abdurrahman Wahid mulai dilaksanakan secara demokratis dan terbuka. Di beberapa Pemilu yang diselenggarakan secara demokratis, NU masih menjadi partai yang mampu berperan dan membawa dirinya, meski terdapat kelelahan-kelelahan situasional. Kelelahan tersebut muncul dari suara-suara yang menghendaki NU kembali pada jati dirinya sebagai organisasi agama dan kemasyarakatan.

Di samping, perjuangan NU sebagai partai politik lebih menampilkan sosok-sosok personal daripada organisasi. Pada penyelenggaraan Muktamar NU kedua puluh tiga di Solo, 25-29 Desember 1962 bertepatan dengan 29 Rajab-3 Sya’ban 1382 H, mulai muncul suara-suara yang menghendaki NU tak lagi menjadi partai politik dan kembali menjadi jam’iyyah diniyah. Kelompok ini dinamakan “pro khittah” yang didukung oleh kalangan Syuriah. Misalnya, perjuangan kembali kepada khittah sendiri sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an. KH. Achyat Chalimi mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, karena telah diganti perorangan, hingga partai sebagai alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar. Hal demikian menemukan masa puncak kejenuhan ketika terjadi penyederhanaan partai politik di masa Orde Baru. NU yang tergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan kian tidak memiliki peran-peran strategis.

Masa Reflektif

Dorongan kiai-kiai sepuh untuk mengembalikan peranan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan kian kuat, sehingga tarik menarik kekuatan internal NU yang pro-politik dan pro-khittah kembali mewarnai sejarah perjalanan NU. Menjelang pelaksanaan Muktamar NU ke-27, para pemimpin NU terbelah dua: kubu Cipete yang bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As’ad Syamsul Arifin. Kubu Situbondo mengadakan Munas, kubu Cipete juga membuat Munas.

Trenggalek, 0.21, 21 April 2019.

Penulis :

M. Sakdillah (author, director, and culture activities).

Sumber :

https://www.nu.or.id/post/read/15738/muktamar-nu-melintas-batas

http://www.muslimoderat.net/2017/10/sumpah-pemuda-dan-muktamar-nu-1928.html#ixzz5lSTtbJLt

http://www.nu.or.id/post/read/86468/kiai-kiai-jawa-barat-di-awal-muktamar-nu

https://www.mediasantrinu.com/berita-mengenang-muktamar-nu-keix-di-banyuwangi-.html

http://www.nu.or.id/post/read/42785/seputar-muktamar-nu-di-solo

http://www.nu.or.id/post/read/23479/kiai-machfudz-siddiq-sang-pemula

http://www.nu.or.id/post/read/72968/lika-liku-berdirinya-muslimat-nu

TIGA KIAI PENGGAGAS DZIKRUL GHOFILIN

                Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun 1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Ha...