Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia. Kehadiran NU mempunyai makna penting dan turut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, NU ikut memberi saham terbesar bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari dua aspek perjuangan NU, kultural dan struktural.
Dari aspek kultural, dapat dilihat dari latar belakang perjuangan ulama-ulama yang gigih menentang kehadiran Belanda di dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Penguasaan Pemerintah Belanda atas bumi pertiwi menjadi alasan utama penentangan tersebut. Di pulau Jawa, catatan panjang sejarah akan menyebutkan pola-pola pergerakan ulama yang terlibat di dalam berbagai perebutan wilayah yang hendak dianeksasi Belanda, seperti pemberontakan petani Banten, perang Kedondong Cirebon, pun perang besar Pangeran Dipanegara yang berhasil membuat VOC bangkrut.
Genealogi sejarah perlawanan ulama terhadap Pemerintah Belanda yang menududuki tanah air jelas terjadi secara turun temurun dengan cikal yang tumbuh dari masa sebelumnya. Terutama, relasi ulama dan pemerintah.
Genealogi tersebut termaktub di dalam pandangan dan garis (khittah) perjuangan NU yang Muqoddimah-nya ditulis langsung oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Muqoddimah tersebut menjadi pokok perjuangan NU di dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran para ulama pewaris Nabi Muhammad Saw secara turun temurun di Nusantara. Ajaran atau pokok pikiran Nahdlatul Ulama (NU) tersebut menyebutkan sebagai organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Secara metodik dan sistemik yang diajarkan, NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Di bidang aqidah, NU berpegang pada metode dan sistem pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, serta mengikuti metode dan sistem pemahaman yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali di bidang tasawuf.
Dengan demikian, metode dan sistematika ajaran atau pokok pikiran NU telah ditegaskan oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari secara tertulis di dalam Muqoddimah Qonun Asasi NU. Hal tersebut dilandasi dari realitas sosial masyarakat Nusantara yang telah mengamalkan ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebagaimana masa-masa kerajaan pra kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah terlebih dahulu menerapkannya di dalam tata keprajan (pemerintahan) yang berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kehadiran NU tidak secara tiba-tiba sebagaimana tanggal kelahiran seorang bayi, namun memiliki jiwa dan raga jauh sebelum ditetapkannya tanggal kelahiran tersebut. Proses panjang ulama-ulama yang hidup di masa jauh sebelum NU hadir dan terorganisir merupakan jiwa dan raga NU sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat dari qonun-qonun yang sudah diterapkan oleh raja-raja Nusantara yang terimplementasikan ke dalam tradisi dan kehidupan nyata, sebagaimana di Sumatera dikenal dengan slogan “adat basandi syara, syara basandi kitabullah”, begitu pula di pulau Jawa dikenal dengan kehadiran Walisanga, dan seterusnya.
Untuk merumuskan arah dan perjuangan, NU memerlukan sebuah forum tertinggi di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah strategis. Muktamar NU adalah forum tertinggi di dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang dari waktu ke waktu menghadapi persoalan sendiri-sendiri. Di dalam Muktamar NU membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan pertanggungjawaban PBNU yang disampaikan secara tertulis
b. Membahas AD/ART
c. Garis-garis Besar Program Kerja NU untuk 5 (lima) tahun ke depan
d. Membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan
e. Rekomendasi organisasi
f. Memilih rais aam dan ketua umum tanfidziyah
Sebelum negara dalam keadaan aman seperti saat ini, Muktamar NU dilaksanakan setiap tahun guna merespon persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa yang urgen. Namun belakangan, guna menghadapi persoalan urgen tersebut masih diadakan forum-forum di bawah muktamar seperti Musyawarah Nasional (Munas) NU dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Sementara muktamar dilaksanakan lima tahun sekali guna menjaga stabilitas dan kemapanan organisasi.
Masa Konsolidasi
Sebelum diputuskan menjadi agenda acara lima tahunan, NU menyelenggarakan muktamar setahun sekali di berbagai pesantren dan daerah. NU I di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926. Masa-masa awal pendirian organisasi NU ditandai dengan konsolidasi antar daerah yang bergerak dari Surabaya hingga ke Banten. Muktamar pertama hingga ketiga berlangsung di Surabaya (1926, 1927, 1928). Keempat, di Semarang pada 1929. Kelima, di Pekalongan pada 1930. Keenam, di Cirebon pada 1931. Ketujuh, di Bandung pada 1932. Kedelapan, di Jakarta 1933. Setelah itu kembali lagi ke timur. Pada masa-masa awal pembentukan organisasi tersebut, sidang-sidang mukatmar masih menjadi satu antara Dewan Syuriah dan Dewan Tanfidziyah.
Masa konsolidasi ini juga ditandai dengan agenda perang kebudayaan terhadap Belanda yang dianggap kafir. Keputusan NU tahun 1927 merupakan bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang kemudian digelorakan oleh para kiai NU ke dalam bentuk pemboikotan dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Secara ekstrem juga berwujud pada perang melawan penjajah. Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan melawan Belanda. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Di samping perang kebudayaan, para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi dengan memasukkan isu ekonomi dan politik. Pada isu ekonomi para kiai melakukan upaya delegitimasi mata uang penjajah.
Masa Perkembangan
Perkembangan NU demikian cepat. Ruslan Abdul Gani mencatat, NU tumbuh cepat dan nyaris merata. Sehingga terasakan dalam kelahiran NU terdapat jiwa self helping. Ruslan menambahkan, deklarasi NU itu wujudnya adalah gerakan sistematis muslim desa yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional.
Tepat pada tanggal 21-26 April 1934 M, Muktamar NU kesembilan dilaksanakan di Banyuwangi. Muktamar kesembilan tersebut memilki torehan penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama. Menurut Choirul Anam dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, menyebut Muktamar tersebut sebagai tonggak perkembangan NU. Ada beberapa poin penting yang menjadi pertimbangannya. Dalam forum permusyawaratan tertinggi di kalangan NU tersebut, berhasil dirumuskan mekanisme kerja baru. Persidangan antara Syuriah dan Tanfiziyah tak lagi dalam satu forum. Syuriah sidang dengan pembahasan tersendiri. Begitu pula dengan Tanfidziyah memiliki bahasan tersendiri. Sebagaimana pembagian yang dikenal hingga sekarang.
Masa Kebangkitan Pemuda
Peranan tokoh-tokoh muda NU banyak mengambil peran dalam muktamar kesembilan tersebut. Nama-nama seperti Wahid Hasyim, Machfud Siddiq, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid tampil di berbagai forum persidangan. Salah satu hasil dari keterlibatan generasai muda tersebut adalah lahirnya Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO). Cikal bakal GP Ansor sekarang.
Muktamar NU yang kesepuluh diselenggarakan di Surakarta pada 13-19 April 1935/10-15 Muharram 1354. Jumlah anggota NU yang terdaftar pada muktamar tersebut adalah 68.000 orang dari 68 cabang se-Indonesia. Dengan kata lain, NU sudah benar-benar berkembang hampir di setiap pelosok negeri.
Masa Kebangkitan Nasionalisme
Momentum penting NU sebagai organisasi agama dan sosial di dalam sejarah pembentukan NKRI adalah pada muktamar kesebelas di Banjarmasin, ketika memutuskan nama Indonesia sebagai “Darul Islam”. Perjuangan pemuda-pemudi Indonesia yang tertuang di dalam kesepakatan bersama pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meminta jawaban pasti dari umat Islam yang bersumber dari legitimasi para ulama.
Masa Mabadi Khaira Ummah
Sekitar tahun 1935, KH Machfudz Siddiq telah merintis berdirinya majalah NU, yaitu Soeara Nahdlatoel Oelama. Kepiawaiannya dalam merangkai kata, baik dengan menggunakan bahasa Arab maupun Melayu telah menarik perhatian Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Pada Muktamar NU ke-12 di Malang 1937, ia dipilih menjadi Ketua Hoftbestuur Nahdlatoel Oelama (Ketua Umum PBNU), namun ditolaknya. Hingga Hadratussyekh sendiri yang memintanya untuk menjadi ketua. Saat menjadi Ketua Umum PBNU, pikiran KH Machfudz Siddiq semakin tumbuh subur. Selain melakukan penataan organisasi, ia pun merumuskan metode dakwah yang efektif, penerbitan majalah dan koran, juga merumuskan prinsip pengembangan masyarakat yang dikenal dengan mabadi khaira ummah.
Masa Kebangkitan Perempuan
Muktamar NU ketiga belas diselenggarakan di Menes, Banten, pada 1938. Kendali Muktamar tersebut diserahkan kepada Trio pimpinan NU; KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah saat itu), dan KH Wahid Hasyim yang didampingi kiai sepuh Kiai Asnawi Kudus. Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari tidak turut hadir dengan alasan kesehatan. Namun demikiam, Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, pada 1938 tersebut justeru memiliki arti yang sangat besar bagi kaum perempuan NU. Ketika gagasan mendirikan organisasi perempuan NU itu muncul. Pada forum muktamar tersebut dua tokoh perempuan, Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah. tampil ke muka sebagai pembicara mewakili jamaah perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Secara internal, NU belum bersedia menerima jamaah perempuan berpartisipasi di dalam penentuan kebijakan. Ide tersebut menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Meskipun peranan perempuan tersebut baru diterima dan diputuskan pada Muktamar NU kelima belas di Surabaya pada 1940, lengkap beserta AD/ARTnya.
Muktamar NU keempat belas diselenggarakan di Magelang. Pembahasan organisasi perempuan NU kembali menghangat pada muktamar ini, di samping masalah simpan pinjam uang koperasi. Kaum perempuan NU diberi kesempatan menyelenggarakan rapat umum perdana. Pada kesempatan tersebut dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan, dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Mereka menyampaikan pidato yang berisi tentang pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan yang memegang peran penting turut mencerdaskan bangsa.
Pada Muktamar NU kelima belas yang diselenggarakan di Surabaya, kaum perempuan NU tersebut melakukan rapat tertutup guna membahas pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, serta bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940.
Masa Momentum Revolusi
Muktamar NU mengalami masa vakum cukup lama, karena ketegangan revolusi memperebutkan kemerdekaan disusul oleh kedatangan Jepang tahun 1942. Muktamar NU keenam belas diadakan pada 23-26 Rabiul Akhir 1365 H/ 26-29 Maret 1946 di Purwokerto. Momentum Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 kian meneguhkan tekad untuk merdeka. Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat juang dalam menghadapi agresi I dan II Belanda. Di dalam pidatonya, Hadratussyekh menegaskan kembali tentang Fatwa Jihad yang disebut juga dengan Resolusi Jihad Kedua; “Demikianlah sesungguhnya pendirian umat telah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
Momentum ini dihadiri oleh tamu-tamu di luar pengurus NU, melainkan juga turut hadir dari anggota Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang hadir. Bahkan, mereka mengenakan pakaian seragam kebesaran berikut senjata lengkap.
Dalam resepsi muktamar tersebut, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi pidato sambutan memuji NU yang telah memberi arah jalan revolusi melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
“Khutbah Wada” Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari
Muktamar NU ketujuh belas adalah yang terakhir dihadiri oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Ia menyampaikan khutbah terakhir tersebut di Madiun pada malam Ahad, 5 Rajab atau 24 Mei 1947 (Rajab 1366 Hijri). Dua bulan kemudian, tepatnya pada 25 Juli atau 7 Ramadhan, Hadratussyekh meninggal dunia. Menurut Ahmad Ginanjar Sya’ban, ia menemukan teks khutbah tersebut dalam versi salinan KH. Ahmad Abdul Hamid Kendal yang terhimpun dalam kitab karangan beliau, Ihyâ ‘Amal al-Fudhala fi Tarjamah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama (diterbitkan tahun 1952 oleh Menara Kudus).

Khutbah Hadrastussyekh tersebut berisi tentang masa-masa genting perjuangan republik yang baru lahir dan tengah mempertahankan kemerdekaannya sekaligus menghadapi agresi militer Belanda; “Perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara ini harus terus ditegakkan sampai titik darah penghabisan. Semua kalangan bangsa Indonesia, terutama umat muslim negara itu, harus bersatu padu dan mengesampingkan perselisihan di antara mereka.”
Masa Keluar dari Partai Masyumi
Dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949, Mohammad Saleh, walikota Yogyakarta yang juga tokoh Masjumi (dari Muhammadiyah) menyindir para kiai-kiai NU. Sindiran tersebut membuat 30 orang kiai meninggalkan ruangan kongres. Menurut Greg Fealy, perubahan peran ulama dan Majelis Syuro merupakan penyebab utama pertikaian antara NU dan kelompok Natsir. Sebab, Majelis Syuro berfungsi hanya sebatas sebagai dewan konsultatif yang tidak memiliki peran kebijakan. Hubungan retak tersebut tidak pernah pulih hingga sekarang.
Dalam Muktamar NU ke-18 di Jakarta, Mei 1950, KHA Wahab Chasbullah mendesak penarikan diri dari Partai Masyumi. Dalam pidatonya, Kiai Wahab mengatakan, “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.”
Kemudian, PBNU menggelar rapat di Jagalan, Jombang, pada 5-6 April 1952 guna membahas masalah hubungan dengan Partai Masyumi. Sebagian utusan setuju NU menarik diri dari Partai Masyumi. Ketika ada yang mengusulkan menyerahkan keputusan pada Muktamar, Kiai Wahab menentang dan mendesak PBNU ambil keputusan. Akhirnya, rapat tersebut memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952. Keputusan tersebut kemudian dibawa ke Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952.

Masa Menjadi Partai Politik
Muktamar kesembilan belas NU diselenggarakan di Palembang 26-30 April 1952. Kala itu KHA Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan KH Nahrawi Thohir.

Momentum keluar dari Partai Masyumi sangat menentukan bagi masa depan NU. Dua arus utama politik pada masa itu yang muncul di setiap permukaan polemik (sebagaimana polemik kebudayaan) tak luput pula melanda kaum muslimin. “Arus Luar” yang mengusung ide modernisme terwakili dari kalangan Masyumi moderat dan PKI, serta “Arus Tradisional” yang mengusung ide “nasionalisme” yang terwakili oleh PNI dan NU. Dua arus tersebut kemudian yang melatari panggung politik di Indonesia hingga sekarang. Dan, sejak menjadi partai tersebut, NU banyak menempati tokoh-tokohnya di pemerintahan. Hal yang tidak pernah didapat ketika masih bergabung di dalam Partai Masyumi. Bahkan, pada prosesi Pemilu pertama tahun 1955, NU menempati posisi nomor tiga setelah PNI dan Masyumi. Kejutan yang sangat berarti. Mengingat gerak cepat Partai NU dalam waktu singkat mampu menyaingi partai induk sebesar Partai Masyumi.
Keputusan penting lainnya pada Muktamar kesembilan belas di Palembang tersebut adalah menetapkan NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) sebagai Badan Otonom NU.
Masa Kelahiran Sayap-sayap NU
Dampak dari NU menjadi partai tersebut adalah terbukanya kran-kran konflik di akar rumput. Masuknya ideologi-ideologi dari luar seperti modernisme, kolonialisme, imperialisme, komunisme, bahkan intelektualisme telah mengancam eksistensi dan struktur masyarakat bangsa Indonesia. Berbagai aliran ideologi tersebut membentuk ke dalam partai-partai politik. Tercatat, terdapat 172 partai politik yang menjadi kontestan pada Pemilu 1955 tersebut. Dan, dapat dibayangkan: terdapat pula 172 ideologi politik yang bermain, meskipun yang tampak dominan kemudian di panggung sejarah adalah PNI, Partai Masyumi, PKI, dan tentunya Partai NU.
Menghadapi perubahan pada akar rumput tersebut, NU melahirkan badan-badan otonom seperti Nahdlatoel Oelama Moeslimat (1946, 1952), Fatayat NU (1950), IPNU (1954), IPPNU (1955), serta Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia, Lesbumi (1956). Di samping, pengalaman berorganisasi selama mengikuti Partai Masyumi.
Perkembangan badan-badan otonom di lingkungan NU tidak muncul dari tubuh struktural kepengurusan. Kebanyakan dari sekumpulan warga NU yang intens melakukan bidang garapan tertentu secara terorganisir. Mereka menjalani proses diri yang cukup lama dari masa kelahirannya. Sebagaimana pendirian Ikatan Pelajar Nahdltul Ulama (IPNU). Proses pendirian IPNU diawali pada tahun 1939 ketika lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama); Disusul kemudian pada tahun 1947, lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang; Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama) di Semarang; PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri; dan, di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama. Masing-masing bergerak sendiri-sendiri secara sporadis. Baru kemudian, Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut ke dalam satu wadah yang diberi nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Begitu pula proses kelahiran Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang diawali dari gagasan kelompok. Sekitar akhir tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud di bilangan Keprabon, Surakarta, beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, mencoba merespon keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya tentang perlunya organisasi pelajar di kalangan nahdliyyat. Diskusi-diskusi ringan tersebut dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri. Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 4 Maret 1955, dikeluarkan surat persetujuan resolusi berdirinya IPNU-Putri dari PB Ma’arif NU yang kemudian disahkan menjadi IPPNU.

Masa Pemantapan Organisasi
Keterlibatan NU di kancah politik praktis yang merupa pada Partai NU memang telah menempatkan posisi-posisi strategis bagi kader-kadernya, terutama setelah PKI dan Partai Masyumi dibubarkan. Sejalan sejarah bangsa menuju demokratisasi, NU pun turut mewarnai proses itu. Sejak Muktamar NU kesembilan belas di Palembang tahun 1952, proses pemilihan pimpinan NU (Rais dan Ketua Umum) nenurut KH Abdurrahman Wahid mulai dilaksanakan secara demokratis dan terbuka. Di beberapa Pemilu yang diselenggarakan secara demokratis, NU masih menjadi partai yang mampu berperan dan membawa dirinya, meski terdapat kelelahan-kelelahan situasional. Kelelahan tersebut muncul dari suara-suara yang menghendaki NU kembali pada jati dirinya sebagai organisasi agama dan kemasyarakatan.
Di samping, perjuangan NU sebagai partai politik lebih menampilkan sosok-sosok personal daripada organisasi. Pada penyelenggaraan Muktamar NU kedua puluh tiga di Solo, 25-29 Desember 1962 bertepatan dengan 29 Rajab-3 Sya’ban 1382 H, mulai muncul suara-suara yang menghendaki NU tak lagi menjadi partai politik dan kembali menjadi jam’iyyah diniyah. Kelompok ini dinamakan “pro khittah” yang didukung oleh kalangan Syuriah. Misalnya, perjuangan kembali kepada khittah sendiri sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an. KH. Achyat Chalimi mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, karena telah diganti perorangan, hingga partai sebagai alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar. Hal demikian menemukan masa puncak kejenuhan ketika terjadi penyederhanaan partai politik di masa Orde Baru. NU yang tergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan kian tidak memiliki peran-peran strategis.
Masa Reflektif
Dorongan kiai-kiai sepuh untuk mengembalikan peranan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan kian kuat, sehingga tarik menarik kekuatan internal NU yang pro-politik dan pro-khittah kembali mewarnai sejarah perjalanan NU. Menjelang pelaksanaan Muktamar NU ke-27, para pemimpin NU terbelah dua: kubu Cipete yang bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As’ad Syamsul Arifin. Kubu Situbondo mengadakan Munas, kubu Cipete juga membuat Munas.
Trenggalek, 0.21, 21 April 2019.
Penulis :
M. Sakdillah (author, director, and culture activities).
Sumber :
https://www.nu.or.id/post/read/15738/muktamar-nu-melintas-batas
: http://www.muslimoderat.net/2017/10/sumpah-pemuda-dan-muktamar-nu-1928.html#ixzz5lSTtbJLt
http://www.nu.or.id/post/read/86468/kiai-kiai-jawa-barat-di-awal-muktamar-nu
https://www.mediasantrinu.com/berita-mengenang-muktamar-nu-keix-di-banyuwangi-.html
http://www.nu.or.id/post/read/42785/seputar-muktamar-nu-di-solo
http://www.nu.or.id/post/read/23479/kiai-machfudz-siddiq-sang-pemula
http://www.nu.or.id/post/read/72968/lika-liku-berdirinya-muslimat-nu